Panorama Teluk Yang Sejuk Menyimpan Sejarah
![]() |
| Panorama Alam Teluk Aceh Selatan (CA) |
![]() |
| Sejumlah Pengunjung Saat mendatangi Lokasi Bekas Telapak Kaki Tuan Tapa Di Lembah Gunung Lampu, Tapak Tuan - Aceh Selatan (CA) |
Tapaktuan,
citraaceh.com
Mungil dan
indah, mungkin itulah yang pas dipatrikan pada kota kecil yang bertengger di
pinggir laut Samudera Indonesia bagian barat ini. Kota yang dikenal dengan Kota
Naga ini sudah berdiri sejak 2000 tahun lalu. Waktu itu negeri ini
didatangi oleh seorang bangsa Arab yang mengembangkan syiar Islam ke Aceh. Nama
penyiar Islam itu bernama Tuan Tapa.
Banyak ahli
sejarah yang beda pendapat tentang kehadiran Tuan Tapa di negeri Teluk
ini. Namun bukti kuat atas keberadaan manusia keramat ini bisa dilihat dengan
peninggalan makamnya di Gampong Padang Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan.
Awalnya Tuan
Tapa mendiami daerah Teluk ini langsung bersemadi di hulu sungai di dalam
sebuah gua besar yang bernama Gua Kalam (di Gampong Jambo Apha) Tapaktuan.
![]() |
| Gua Kalam Tapak Tuan - Aceh Selatan (CA) |
Di dalam Gua
Kalam ini ditemui sejumlah barang-barang perabot rumah tangga, seperti meja,
kursi, jam dinding, pinggan cawan yang sudah menjadi batu, namun karena
tangan-tangan jahil benda-benda ini sudah rusak. Bahkan untuk masuk ke dalam
gua itu sekarang sudah sulit karena sudah tertimbun tanah.
Mantan Ketua
DPRK Aceh Selatan Almarhum H Abdul Salam, BA yang juga mantan Ketua Majelis
Adat Aceh (MAA) Aceh Selatan Almarhum H. Nasir Gani kepada media ini
pernah berencana berjanji akan memugar semua peninggalan sejarah di Aceh Selatan,
termasuk pemugaran Gua Kalam di Jambo Apha.
"Insya
Alah, kita akan garap semua peninggalan sejarah di Aceh Selatan dan bekerja
sama dengan Dinas Pariwisata," ujar H Abdul Salam.
Dulu pada
tahun 1968 wartawan media ini pernah langsung masuk ke dalam gua dan duduk di
kursi Tuan Tapa sambil memegang-megang piring dan gelas yang sudah menjadi
batu. Waktu itu kami terpaksa membawa senter karena di dalam dua cukup gelap.
Dulu, kami
di Tapaktuan, tiap tahun ke sana, pada hari makan-makan (pajoh-pajoh) menjelang
1 hari mau Ramadhan. Sudah menjadi tadisi waktu itu banyak warga yang ke sana
mandi-mandi untuk berlimau kulit kayu semantuk campur asam kaca ke Lubuk
Simerah dan Gua Kalam. Demikian juga ke Lubuk Tingkat Tujuh Desa Batu Itam -
Tapaktuan. Ramai dan meriah suasana pada hari makan-makan menjelang puasa di
kedua lokasi itu. Nostalgia yang sulit terlupakan. Acara berpacaran (bacinto
istilah orang Tapaktuan) juga ada waktu itu. Basuo di Lubuk bagalak-galak samo
cinto dan bakirim-kirim surek walau istilah "I Love You" belum begitu
keren di masa itu.
Waktu itu
anak-anak dan orang dewasa bebas keluar masuk ke dalam gua. Tapi sayang karena
sulitnya waktu itu tustel (kamera) seperti sekarang, maka banyak moment-moment
penting di dalam gua itu tidak dapat diabadikan. Memang waktu itu (era 1970-an)
hanya baru ada dua tukang foto: yaitu, Almarhum Mak Tasa dan Almarhum Kupong.
Itu pun foto hitam putih. Padahal waktu itu jika peninggalan milik Tuan Tapa
ini bisa diabadikan oleh kedua juru kamera itu, alangkah indahnya dokumentasi
peninggalan sejarah Tapaktuan bisa ditampilkan utuh.
![]() |
| Panorama Tapak Tuan Dilihat Dari Lokasi Bekas Telapak Kaki Tuan Tapa Di Lembah Gunung Lampu, Aceh Selatan (CA) |
Sejarah yang
hampir terlupakan
Kalau kita
mau menelusuri dari dalam Gua Kalam ini, ada lorong yang panjang berliku-liku
menuju kaki bukit Gunung Lampu. Dulu dari dalam gua ini terdengar suara desir
ombak dari kaki Gunung Lampu. Tapi sekarang sudah tertimbun tanah.
Tercatat
dalam sejarah, sebelum bendera Belanda dikibarkan di Gunung Lampu Tapaktuan
pada tanggal 5 Mei 1874. Sebuah kapal perang Belanda Watergeus yang hendak
buang jangkar (bersauh) di Pelabuhan Cerocok Tapaktuan, tiba-tiba dari arah
bekas Telapak Kaki Tuan Tapa terdengar suara meriam yang cukup keras. Sehingga
kepala kapal Watergeus berpindah posisi dan langsung lari ketakutan ke tengah
laut.
Meskipun
beberapa hari kemudian kapal itu berhasil juga mendaratkan pasukannya di bawah
pimpinan Jenderal Van Swieten di kawasan Pelabuhan Cerocok, dekat Krueng
Sirullah, Tapaktuan.
Pada hari
itu, Belanda mengibarkan bendera mereka di darat. Pengibaran ini dimaksudkan
untuk berdamai sementara.
Ajakan damai
itu ditolak oleh rakyat Pulau Kayu dan Labuhan Haji. Mereka bertekad untuk
menurunkan dan mengembalikan bendera tersebut ke kapal Watergeus,
kemudian mengusirnya.
Kontak
senjata yang tidak seimbang terjadi. Meriam berhadapan dengan kelewang, rencong
dan tombak. Namun kapal Watergeus berhasil dihalau.
Peristiwa
itu menyebabkan kolonial Belanda mengirimkan kapal perang "Banda"
pada September 1874. Pengiriman kedua ini kembali gagal. Rakyat mengadakan
perlawanan sengit dan kapal "Banda" tidak bisa berlabuh karena
terjadi badai di daerah Gosong Pakak (kawasan Teluk Tapaktuan)
Dua
kegagalan tersebut mendorong Belanda untuk mengirimkan ekspansi yang lebih
kuat. Kota Tapaktuan dihujani peluru dari laut.
Rakyat
Meukek, Labuhan Haji, dan Tapaktuan memberikan perlawanan dengan meriam buatan
Kerajaan Turki. Kemarahan Belanda memuncak ketika rakyat Kuala Batee berani
membajak kapal Belanda dan menaikkan bendera Turki yang berdampingan dengan
bendera Kerajaan Aceh, karena waktu itu Aceh memang bersahabat dengan Turki.
(Bersambung)



